Satelit Low Earth Orbit (LEO) Starlink milik Elon Musk akan beroperasi di wilayah Indonesia, LEO akan beroperasi untuk menyediakan akses internet untuk wilayah Terpencil, Terdepan, dan Terluar (3T) di Indonesia.
CEO XL Axiata (EXCL) Dian Siswarini tak bisa menyembunyikan rasa kekhawatirnya atas nasib industri telekomunikasi tanah air, jika Starlink milik SpaceX Elon Musk, benar-benar beroperasi di Indonesia.
Menurut Dian, pangsa pasar operator seluler di Indonesia bisa dengan sangat mudah dilibas oleh Starlink jika pemerintah tidak memeberikan proteksi pada operator seluler lokal.
“Kalau Elon Musk muncul, sudah masuk ke Indonesia dan kita tidak mendapatkan playfield yang sama. Wah, itu mungkin bisa dibabat habis,” ujar Dian dalam sebuah acara diskusi di Jakarta belum lama ini.
Baca Juga: Dengan Teknologi MOXIE, NASA Berhasil Ciptakan Oksigen di Planet Mars
Untuk itu, Dian berharap pemerintah dapat membuat regulasi yang lebih berpihak pada operator seluler dalam negeri, sehingga keberlangsungan hidup industri operator seluler dapat tetap terjamin.
Berbeda dengan EXCL yang sedikit antipati terhadap Stralink, PT Telkom Satelit Indonesia (Telkomsat), anak usaha PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM) justru berniat membeli kapasitas dari Starlink.
Telkomsat yang mendapatkan Hak Labuh Satelit Khusus Non Geostationer (NGSO) dari Kemenkominfo, akan menggunaan Starlink untuk keperluan layanan backhaul Telkom Group.
Untuk diketahui, Starlink memakai konstelasi satelit low-earth dengan jarak sekitar 550 km, di mana jangkauan ini termasuk kecil dibandingkan satelit lainnya. Dikarenakan satelit Starlink berada di orbit rendah, waktu perjalanan data dari dan ke pengguna juga jauh lebih rendah daripada layanan internet satelit biasa.
Baca Juga: PT Vale Indonesia Garap 3 Proyek Smelter Senilai Rp 138 Triliun
Sehingga latensi juga jauh lebih rendah di mana dapat memberikan internet lebih cepat dibanding provider satelit lainnya. SpaceX sempat mengeklaim bahwa Starlink mampu menawarkan kecepatan internet hingga 350 Mbps di setiap penerbangan.
Namun sumber lain menyebut kecepatannya hanya 160 Mbps, bagaimana pun kecepatan tersebut masih 8 kali lebih cepat dari rata-rata kecepatan layanan seluler Indonesia yang menurut laporan Ookla sekitar 21 Mbps (unduh).
Menurut CEO penyelenggara satelit orbit rendah PT Dwi Tunggal Putra (DTP) Michael Alifen mengatakan satelit LEO tidak akan mendisrupsi jaringan telekomunikasi lainnya. Menurut Michael, sudah terdapat banyak perbedaan dalam model bisnisnya, mulai dari target pasar, jangkauan, hingga harga yang berbeda.
Diketahui, untuk satelit LEO milik DTP sendiri memiliki model bisnis B2B di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
“Sebenarnya gini kan, karena di kota-kota juga bisa dipakai, tapi dari segi harga kan kami belum bisa sama dengan fiber,” ujar Michael. Dirjen Perangkat Pos dan Informatika.
Baca Juga: Kenaikan Harga Gas Industri 1 Oktober Ditolak Menteri ESDM
Kemkominfo, Wayan Toni juga memastikan bahwa keberadaan satelit LEO tak mengancam Satelit Multifungsi Satria-1. Wayan mengatakan, hal ini dikarenakan wilayah geografis Indonesia yang berupa kepulauan, membutuhkan berbagai jenis transmisi komunikasi untuk bisa benar-benar memenuhi kebutuhan sinyal di seluruh Indonesia.
“Belum semuanya dapat dipenuhi suplainya oleh penyelenggara khususnya di area-area yang belum terjangkau layanan atau pun pilihan transmisi telekomunikasi terbatas,” ujar Wayan, pada Minggu (13/8/2023).
Menurut Wayan, satelit orbit rendah ini juga tidak akan mengancam keberadaan satelit dari Kemenkominfo, Satria-1 yang baru diluncurkan pada bulan lalu. Wayan mengatakan Satria-1 difungsikan untuk melayani lembaga pemerintahan dan fasilitas publik.
Selain institusi ataupun tempat tersebut, masih banyak wilayah yang membutuhkan layanan internet cepat.
“Sehingga masih terbuka peluang bagi penyelenggara telekomunikasi yang memanfaatkan satelit LEO dalam meyampaikan layanan ke daerah-daerah terpencil di mana pilihan transmisi telekomunikasi masih terbatas,” ujar Wayan.